AKUNTANSI ZAKAT, INFAK DAN SHODAQOH - AKUNTAN INDEPENDEN

Tuesday 23 January 2018

AKUNTANSI ZAKAT, INFAK DAN SHODAQOH

Zakat, infaq, dan shodaqoh (ZIS) merupakan bagian dari kedermawanan (filantropi) dalam konteks masyarakat Muslim. Zakat merupakan kewajiban bagian dari setiap muslim yang mampu serta menjadi unsure dari Rukun Islam, sedangkan Infaq dan Shodaqoh merupakan wujud kecintaan hamba terhadap nikmat dari Allah SWT yang telah diberikan kepadanya sehingga seorang hamba rela menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan agama baik dalam rangka membantu sesama maupun perjuangan dakwah Islamiyah.
Zakat diwajibkan pada tahun ke-9 Hijriah, sementara shodaqoh fitrah pada tahun ke-2 Hijriah. Akan tetapi ahli hadis memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 Hijriah ketika Maulana Abdul Hasan berkata zakat diwajibkan setelah hijrah dan dalam kurun waktu lima tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum. Peraturan mengenai pengeluaran zakat di atas muncul pada tahun ke-9 Hijriah ketika dasar islam telah kokoh, wilayah Negara berekspansi dengan cepat dan orang berbondong-bondong masuk Islam. Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenai zakat, batas-batas zakat dan tingkat persentase zakat untuk barang yang berbeda-beda. Para pengumpul zakat bukanlah pekerjaan yang memerlukan waktu dan para pegawainya tidak diberikan gaji resmi, tetapi mereka mendapatkan bayaran dari dana zakat. Sampai akhirnya pada jaman Rasulullah, zakat menjadi pendapatan utama bagi Negara (Sudarsono, 2003: 235).
Di Indonesia, pengelolaan dana ZIS telah diatur Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU ini mengatur tentang Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang boleh beroperasi di Indonesia. OPZ yang disebutkan dalam UU tersebut adalah Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZ merupakan lembaga pengumpul dan pendayagunaan dana zakat yang dibentuk oleh pemerintah dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah sedangkan LAZ merupakan OPZ yang dibentuk atas swadaya masyarakat.
Dalam perkembangannya LAZ lebih maju dan dinamis dibandingkan BAZ bahkan bentuk LAZ bisa dikembangkan dalam berbagai kelompok masyarakat seperti takmir masjid, yayasan pengelola dana ZIS, maupun Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang ada di setiap perusahaan yang berusaha mengorganisir pengumpulan dana ZIS dari direksi maupun karyawan.
Perkembangan BAZ dan LAZ di Indonesia perlu diikuti dengan proses akuntabilitas publikyang baik dan transparan dengan mengedepankan motivasi melaksanakan amanah umat. Pemerintah telah mengatur tentang proses pelaporan bagi BAZ dan LAZ dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 373 Tahun tentang pelaksanaan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 31 yang isinya:
Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada peerintah sesuai dengan tingkatannya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun.
Bahkan dalam salah satu syarat pendirian LAZ yang tertuang pada Pasal 22 SK Menteri Agama RI tersebut disebutkan bahwa untuk mendapatkan ijin dari pemerintah, maka laporan keuangan LAZ untuk 2 tahun terakhir harus sudah diaudit oleh Akuntan Publik. Selanjutnya, laporan keuangan LAZ tingkat pusat maupun propinsi harus bersedia diaudit oleh Akuntan Publik dan disurvey sewaktu-waktu oleh Tim dari Departemen Agama.
Dalam proses pelaporan keuangan BAZ dan LAZ selama ini sampai dengan SK Menteri Agama tersebut dikeluarkan, OPZ belum memiliki standar akuntansi keuangan sehingga terjadi perbedaan penyusunan laporan keuangan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. OPZ yang cukup inovatif kemudian menggunakan PSAK Nomor 45 tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba. Namun demikian, penggunaan PSAK tersebut tidaklah mampu sepenuhnya mengatasi permasalahan standar akuntansi keuangan untuk OPZ. Sampai akhirnya pada Tahun 2005, Forum Zakat berupaya untuk menyusun Pedoman Akuntansi bagi Organisasi Pengelola Zakat (PA-OPZ).
Belum lagi sempat disosialisasikan dan diterapkan secara luas, FOZ telah mengadakan kerja sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia untuk menyusun PSAK Zakat pada tahun 2007. Akhirnya pada tahun 2008, IAI telah menyelesaikan ED PSAK Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat yang resmi diberlakukan untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas pengelola zakat per 1 januari 2009.
Pembahasan akuntansi zakat, infaq dan shodaqoh pada bab ini akan diarahkan sesuai dengan yang telah disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Namun demikian, bab ini membedakan pembahasan antara akuntansi zakat dan akuntansi infaq dan shodaqoh mengingat adanya perbedaan karakteristik dan perlakuan antara sifat penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat, infaq, maupun shodaqoh.
I.                  KONSEP PENGELOLAAN ZAKAT
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu, hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia.
Macam-macam zakat:
  1. Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah
  2. Zakat Maal (harta)
Menurut bahasa (lughat), harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali-sekali oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpannya. Menurut syar’a harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim). Sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
  1. Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun, dikuasai
  2. Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak, dan lain sebagainya.
Penyaluran Dana Zakat
Golongan orang yang berhak menerima zakat disebut mustahiq. Hal ini secara rinci dijelaskan dalam surat At Taubah: 60 sebagai berikut:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak-budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Seorang akuntan OPZ perlu mengetahui pengalokasian dana zakat dengan tujuan agar proses pencatatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah. Khususnya alokasi dana untuk amil, karena asnaf ini merupakan hak bagi para pengelola zakat, maka alokasi dananya perlu memperhatikan proporsi yang diperbolehkan bagi amil. Katakanlah sesuai dengan ketentuan syariah, hak amil mencapai 1/8 bagian (12,5%) dari asnaf yang lain. Namun demikian, alokasi sebesar itu perlu dibarengi dengan kinerja penyaluran yang sebanding dengan hak yang diterima amil. Peningkatan kinerja amil dalam menyalurkan dana zakat sesuai dengan ketentuan syariah akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap OPZ.
Delapan golongan penerima zakat tidak harus sama persis dalam menerima bagian. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses penyaluran dan pendayagunaan dana zakat antara lain:
Pertama: amil zakat perlu memprioritaskan penyaluran dan pendayagunaan dana zakat di sekitar domisili OPZ sehingga lebih focus dan muzakki bisa turut serta maupun mengawasi pelaksanaan penyaluran dana zakat.
Kedua: amil zakat perlu mengidentifikasi kondisi lingkungan dan permasalahan social di sekitar domisili OPZ, sehingga amil mampu merumuskan skala prioritas golongan penerima zakat mana yang paling memebutuhkan.
Ketiga: amil zakat perlu mendahulukan kebutuhan konsumtif mustahiq dibandingkan sector produktif. Artinya, dengan kecenderungan beberapa amil zakat yang menyalurkan dana zakat pada sector produktif, maka tidak sepenuhnya harus disalurkan dalam bentuk pendayagunaan produktf selama sector konsumtif belum dipenuhi dengan cukup baik. Salah satu alas an yang menguatkan adalah bahwa dana zakat merupakan hak mustahiq dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsinya sehingga penyaluran dalam bentuk pemberdayaan mustahiq dengan usaha produktif hanya bisa dilakukan dengan persetujuan dan sesuai dengan kemampuan mustahiq.
 II.               KONSEP PENGELOLAAN INFAQDAN SHODAQOH

Istilah Infaq dan Shodaqoh sering digunakan secara bersamaan dalam beberapa pembahasan, seperti pembahasan mengenai pengelolaan dana Zakat, Infaq, dan Shodaqoh (ZIS) sehingga muncul istilah Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shodaqoh (BAZIS) maupun Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shodaqoh (LAZIS). Padahal istilah amil hanya digunakan dalam konsep pengelolaan dana zakat. Namun demikian, praktik pengelolaan dana ZIS sudah begitu popular di Indonesia sehingga seolah-olah dana ZIS tidak ada bedanya satu dengan yang lain.
Pada bagian sebelumnya telah dibahas tentang konsep dasar zakat dan pengelolaannya, selanjutnya pada bagian ini akan dibahas tentang Infaq dan Shodaqoh. Infaq merupakan harta (materi) yang disunnahkan untuk dikeluarkan dengan jumlah dan waktu yang tidak ditentukan. Penyalurannya tidak ditentukan penerimanya. Sedangkan shodaqoh adalah harta non materiil yang disunnahkan untuk dikerjakan, contoh: senyum, menyingkirkan batu/paku ditengah jalan, dan lain sebagainya. Pengertian Infaq sebenarnya sama dengan pengertian shodaqoh, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infaq berkaitan dengan materi, shodaqoh memiliki arti lebih luas, menyangkut hal yang bersifat non materi. Secara akuntansi, infaq masih mungkin untuk dihitung sedangkan shodaqoh tidak mudah melakukan kalkulasi secara tepat karena merupakan pemberian harta non materiil.
Beberapa ayat Al-Quran dan Hadis yang menerangkan tentang infaq dan shodaqoh, antara lain:
  1. Surat Al baqarah: 195
”dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
  1. Surat Al Baqarah: 215
“mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu b uat, Maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”
  1. Surat At Taubah: 35
“ pada hari dipanaskan emas perakitu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
  1. Surat At Taubah: 104
“tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?”
  1. Surat Al An’am: 141
“dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma,tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya), makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dishodaqohkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
  1. Hadis Riwayat Muslim
“HR Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah menyatakan bahwa jika tidak mampu bershodaqoh dengan harta maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, dan melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah shodaqoh”
Jika seseorang telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, sangat dianjurkan sekali untuk berinfaq dan bershodaqoh. Beberapa keutamaan Infaq dan Shodaqoh yang disebutkan dalam Al Quran antara lain:
  1. Ciri utama orang yang bertakwa (Surat Al Baqarah: 3 dan Ali Imran: 134)
  2. Ciri mukmin yang sungguh-sungguh imannya (Al anfal: 3-4)
  3. Ciri mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (Al Faathir: 29)
  4. Berinfaq untuk melipatgandakan pahala di sisi Allah (Al Baqarah: 262)
Pengelolaan Dana Infaq  dan Shodaqoh
Dalam pengelolaannya, dana Infaq khususnya, OPZIS (Organisasi Pengelola Dana Zakat, Infaq, dan Shodaqoh) memisahkannya dengan dana zakat dengan tujuan untuk memisahkan sumber dan penggunaan dananya sehingga amanah dari masyarakat bisa disampaikan sesuai dengan ketentuan syariah. Laporan keuangan yang disusun untuk memberikan informasi pengelolaan dana infaq paling tidak memberikan informasi tentang dari mana sumber dana infaq diperoleh dan kemana penyaluran dana infaq tersebut dilakukan.
Dalam praktiknya, jika OPZIS menerima shodaqoh dalam bentuk barang, maka OPZIS perlu melakukan penilaian terhadap harga riil barang yang diberikan sepanjang bisa diketahui secara pasti sehingga barang tersebut kemudian dikuantifikasi dengan nilai nominal yang dicantumkan dalam laporan keuangan. Tidak jarang, dana infaq suatu ketika digunakan untuk menanggung kegiatan operasional OPZIS dikarenakan dana amil zakat yang terbatas, padahal dalam kondisi tertentu diperlukan dana operasional untuk menyelenggarakan aktivitas tertentu berkaitan dengan kegiatan penghimpunan maupun penyaluran dana ZIS. Dalam konteks ini, penggunaan dana infaq untuk kepentingan operasional diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syariah.
Dalam proses pencatatannya, pengelolaan dana infaq dan shodaqoh menggunakan sistem akuntansi dana seperti halnya dana zakat. Laporan keuangan yang disajikan antara lain memuat: Pertama, sumber dana infaq dan shodaqoh baik materiil maupun non materiil. Untuk shodaqoh non materiil seperti ada seseorang yang memberikan shodaqoh berupa emas 1 gram, maka perlu dilakukan dikuantifikasi dengan merujuk pada harga pasaran emas pada saat diberikannya shodaqoh tersebut. Penekanan jenis dana infaq diketahui dari niat atau tujuan donaturnya sehingga pengelola dana ZIS perlu menanyakan kepada donator tentang tujuan diberikan dana tersebut, bahkan tidak jarang donator mengikrarkan bahwa dana infaq yang diberikan dialokasikan untuk tujuan khusus (muqayyadah) misalnya infaq untuk fakir miskin atau untuk pendidikan anak yatim. Tentunya pengelola ZIS perlu merinci sumber secara detail sehingga public juga mengetahui tentang sumber dana yang diperoleh oleh OPZIS. Kadang-kadang pengelola dana ZIS juga menerima dana dari donator yang tidak bersedia menyebutkan identitasnya, hal ini tentunya perlu dihargai sebagai bentuk upaya menghindari adanya riya (suka memamerkan kebaikan kepada orang lain). Namun demikian, sebaiknya pengelola dana ZIS semaksimal mungkin mengupayakan adanya konfirmasi tentang identitas donatur. Paling tidak identitas tersebut hanya digunakan untuk pengendalian internal dan tidak untuk dipublikasikan. Hal ini merupakan upaya yang dilakukan pengelola ZIS untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga.
Kedua, laporan penyaluran dana infaq dan shodaqoh menyajikan informasi pemanfaatan dan pendayagunaan dana infaq dan shodaqoh. Karena sifatnya yang lebih fleksibel dibandingkan dana zakat, maka penggunaan dana infaq bisa difokuskan untuk kepentingan-kepentingan yang bukan menjadi bagian dari pendayagunaan dana zakat seperti pemanfaatan untuk pendidikan guru-guru TPA yang punya komitmen untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Pada saat yang sama, dana zakat lebih diprioritaskan bagi fakir miskin sehingga pemanfaatan dana infaq bisa dibuat lebih inovatif. Contoh lain, pemanfaatan dana infaq untuk investasi sektor produktif untuk kepentingan pengembangan kelembagaan dengan dikombinasikan dengan wakaf produktif. Namun demikian, pengelola dana infaq perlu memprioritaskan donatur dengan akad muqayyadah (amanah untuk menyalurkan pada sektor yang ditunjuk oleh donatur). Ketiga, laporan kondisi saldo dana infaq dengan kesimpulan akhir surplus atau defisit. Informasi ini memberikan gambaran tentang efektifitas dan efisiensi pengelola dana infaq dan shodaqoh dalam penghimpunan dan penyaluran dana infaq dan shodaqoh.
 III.           AKUNTANSI ZAKAT DAN INFAK/SEDEKAH (ZIS)
           Ikatan Akuntan Indonesia telah menyusun Exposure Draft (ED) PSAK 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah sebagai bagian dari penyempurnaan transaksi pengelolaan zakat dan infak/sedekah pada Lembaga Keuangan Syariah. Secara umum, semua LKS baik komersial maupun nirlaba memiliki transaksi pengelolaan dana zakat dan infak/sedekah baik dari individu di dalam entitas maupun dari luar entitas yang diamanahkan kepada LKS.Secara khusus, LKS yang memiliki kompetensi untuk mengelola dana ZIS adalah Organisasi Pengelola Zakat yang berbentuk Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ), maupun Unit Pengumpul Zakat.
Pada Rancangan ED PSAK 109 yang pernah disusun oleh IAI sebagai satu tahap yang dilalui menuju penyusunan PSAK terdapat usulan bahwa ruang lingkup pemberlakuan PSAK tentang Zakat dan Infak/Sedekah adalah entitas pembayar zakat, entitas pengelola (amil),dan entitas penerima zakat. Dalam terdapat masalah manakala entitas pembayar zakat diusulkan sebagai salah satu bagian yang mengikuti PSAK ini karena hakikatnya perusahaan (entitas) tidak wajib membayar zakat. Subyek yang memiliki kewajiban membayar zakat hanyalah individu saja sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak untuk mengeluarkan fatwa yang intinya perusahaan wajib mengeluarkan zakat seperti yang pernah diusulkan IAI. Akhirnya ED PSAK 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah saja atau dengan kata lain hanya untuk Organisasi Pengelola Zakat saja sedangkan entitas pembayar dan entitas penerima diharapkan mengacu pada PSAK 101 tentang Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Syariah.
ED PSAK 109 dikeluarkan oleh IAI pada tanggal 26 Februari 2008 dan disosialisasikan ke public untuk mendapatkan tanggapan dan masukan demi perbaikan PSAK tersebut. Pada bagian ini akan diuraikan ED PSAK 109 yang kemudian disimulasikan sehingga diharapkan akan diperoleh gambaran implementasi dan dampak pemberlakuan PSAK ini terhadap penyajian dan pengungkapannya.
ED PSAK 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah, bahwa dana-dana yang dikelola oleh OPZIS adalah dana zakat, infak/sedekah, dana non halal, dan dana amil menurut ED PSAK ini keempat jenis dana tersebut perlu dilakukan pencatatan secara spesifik dan tersendiri menurut sumber penghimpunan dan peruntukannya. Berikut gambaran ED PSAK Zakat dan Infak/Sedekah yang dikeluarkan oleh IAI:
  1. Ruang Lingkup
PSAK ini berlaku untuk amil yang menerima dan menyalurkan zakat dan infak/sedekah. Amil yang menerima dan menyalurkan zakat dan infak/sedekah, yang selanjutnya disebut “amil”, merupakan organisasi pengelola zakat yang pembentukannya dimaksudkan untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat dan infak/sedekah.
PSAK ini tidak berlaku untuk entitas syariah yang menerima dan menyalurkan zakat dan infak/sedekah, tetapi bukan kegiatan utamanya. Entitas tersebut mengacu ke PSAK 101: Penyajian Laporan Keuangan Syariah.
  1. Definisi-definisi khusus
  • Amil adalah entitas pengelola zakat yang pembentukannya dan atau pengukuhannya diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infak/sedekah.
  • Dana Amil adalah bagian amil atas dana zakat dan infak/sedekah serta dana lain yang oleh pemberi diperuntukkan bagi amil. Dana amil digunakan untuk pengelolaan amil.
  • Dana infak/sedekah adalah bagian nonamil atas penerimaan infak/sedekah.
  • Dana zakat adalah bagian nonamil atas penerimaan zakat
  • Infak/sedekah adalah harta yang diberikan secara sukarela oleh pemiliknya, baik yang peruntukannya dibatasi (ditentukan) maupun tidak dibatasi.
  • Mustahiq adalah orang atau entitas yang berhak menerima zakat
  • Muzakki adalah individu muslim yang secara syariah wajib membayar (menunaikan) zakat.
  • Nisab adalah batas minimum harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
  • Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh muzakki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq).
  1. Karakteristik
Zakat merupakan kewajiban syariah yang harus diserahkan oleh muzakki kepada mustahiq baik melalui amil maupun secara langsung. Ketentuan zakat mengatur mengenai persyaratan nisab, haul (baik yang periodik maupun yang tidak diperiodik), tariff zakat (qadar), dan peruntukannya.
Infak/sedekah merupakan donasi sukarela, baik ditentukan maupun tidak ditentukan peruntukannya oleh pemberi infak/sedekah.
Zakat dan infak/sedekah yang diterima oleh amil harus dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tata kelola yang baik.
  1. Pengakuan dan Pengukuran Zakat
  2. Pengakuan Awal
Penerimaan zakat diakui pada saat kas atau aset lainnya diterima. Sedangkan zakat yang diterima dari muzakki diakui sebagai penambah dana zakat:
  1. Jika dalam bentuk kas maka sebesar jumlah yang diterima
  2. Jika dalam bentuk nonkas maka sebesar nilai wajar asset nonkas tersebut.
Penentuan nilai wajar asset nonkas yang diterima menggunakan harga pasar. Jika harga pasar tidak tersedia, maka dapat menggunakan metode penentuan nilai wajar lainnya sesuai yang diatur dalam PSAK yang relevan.
Zakat yang diterima diakui sebagai dana amil untuk bagian amil dan dana zakat untuk bagian nonamil.
Penentuan jumlah atau persentase bagian untuk masing-masing mustahiq ditentukan oleh amil sesuai dengan prinsip syariah dan kebijakan amil.
Jika muzakki menentukan mustahiq yang harus menerima penyaluran zakat melalui amil maka asset zakat yang diterima seluruhnya diakui sebagai dana zakat. Jika atas jasa tersebut amil mendapatkan ujrah/fee maka diakui sebagai penambah dana amil.
  1. Pengukuran Setelah Pengakuan Awal
Jika terjadi penurunan nilai aset zakat nonkas, jumlah kerugian yang ditanggung harus diperlakukan sebagai pengurang dana zakat atau pengurang dana amil tergantung dari sebab terjadinya kerugian tersebut.
Penurunan nilai asset zakat diakui sebagai:
  1. Pengurang dana zakat, jika terjadi tidak disebabkan oleh kelalaian amil
  2. Kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil.

  1. Penyaluran Zakat
Zakat yang disalurkan kepada mustahiq diakui sebagai pengurang dana zakat sebesar:
  1. Jumlah yang diserahkan, jika dalam bentuk kas
  2. Jumlah tercatat, jika dalam bentuk aset nonkas
  3. Pengakuan dan Pengukuran Infak/Sedekah
  4. Pengakuan Awal
Infak/sedekah yang diterima diakui sebagai dana infak/sedekah terikat atau tidak terikat sesuai dengan tujuan pemberi infak/sedekah sebesar:
  1. Jumlah yang diterima, jika dalam bentuk kas
  2. Nilai wajar, jika dalam bentuk nonkas
Penentuan nilai wajar aset nonkas yang diterima menggunakan harga pasar untuk aset nonkas tersebut. Jika harga pasar tidak tersedia, maka dapat menggunakan metode penentuan nilai wajar lainnya sesuai yang diatur dalam PSAK yang relevan.
Infak/sedekah yang diterima diakui sebagai dana amil bagian amil dan dana infak/sedekah untuk bagian penerima infak/sedekah.
Penentuan jumlah atau persentase bagian untuk para penerima infak/sedekah ditentukan oleh amil sesuai dengan prinsip syariah dan kebijakan amil.
  1. Pengukuran Setelah Pengakuan Awal
Infak/sedekah yang dapat berupa kas atau asset nonkas. Aset nonkas dapat berupa aset lancar atau tidak lancar.
Aset tidak lancar yang diterima oleh amil dan diamanahkan untuk dikelola dinilai sebesar nilai wajar saat penerimaannya dan diakui sebagai aset tidak lancar infak/sedekah. Penyusutan dari aset tersebut diperlakukan sebagai pengurang dana infak/sedekah terikat apabila penggunaan atau pengelolaan aset tersebut sudah ditentukan oleh pemberi.
Amil dapat pula menerima aset nonkas yang dimaksudkan oleh pemberi untuk segera disalurkan. Aset seperti ini diakui sebagai aset lancar. Aset ini dapat berupa bahan habis pakai, seperti bahan makanan, atau aset yang memiliki umur ekonomi panjang, seperti mobil ambulance.
Aset nonkas lancar dinilai sebesar nilai perolehan sedangkan aset nonkas tidak lancar dinilai sebesar nilai wajar sesuai dengan PSAK yang relevan. Penurunan nilai aset infak/sedekah tidak lancar diakui sebagai:
  1. Pengurang dana infak/sedekah, jika terjadi bukan disebabkan oleh kelalaian amil.
  2. Kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil.
Dalam hal amil menerima infak/sedekah dalam bentuk aset (nonkas) tidak lancar yang dikelola oleh amil, maka aset tersebut harus dinilai sesuai dengan PSAK yang relevan.
Dana infak/sedekah sebelum disalurkan dapat dikelola dalam jangka waktu sementara untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hasil dana pengelolaan diakui sebagai penambah dana infak/sedekah.
  1. Penyaluran Infak/Sedekah
Penyaluran dana infak/sedekah diakui sebagai pengurang dana infak/sedekah sebesar:
  1. Jumlah yang diserahkan, jika dalam bentuk kas
  2. Nilai tercatat aset yang diserahkan, jika dalam bentuk aset nonkas.
Penyaluran infak/sedekah kepada amil lain merupakan penyaluran yang mengurangi dana infak/sedekah sepanjang amil tidak akan menerima kembali aset infak/sedekah yang disalurkan tersebut.
Penyaluran infak/sedekah kepada penerima akhir dalam skema dana bergulir dicatat sebagai piutang infak/sedekah bergulir dan tidak mengurangi dana infak/sedekah.
  1. Pengakuan dan Pengukuran Dana Non Halal
Penerimaan dana nonhalal adalah semua penerimaan dari kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro atau bunga yang berasal dari bank konvensional. Penerimaan dana nonhalal pada umumnya terjadi dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh entitas syariah karena secara prinsip dilarang.
Penerimaan dana nonhalal diakui sebagai dana nonhalal, yang terpisah dari dana zakat, dana infak/sedekah dan dana amil. Aset nonhalal disalurkan sesuai dengan syariah.
  1. Penyajian dan Pengungkapan Zakat dan Infak/Sedekah
Amil menyajikan dana zakat, dana infak/sedekah, dana amil, dan dana nonhalal secara terpisah dalam (laporan posisi keuangan).
Zakat
            Amil harus mengungkapkan hal-hal berikut terkait dengan transaksi zakat, tetapi tidak pada:
  1. Kebijakan penyaluran zakat, seperti penentuan skala prioritas penyaluran, dan penerima.
  2. Kebijakan pembagian antara dana amil dan dana nonamil atas penerimaan zakat, seperti persentase pembagian, alasan, dan konsistensi kebijakan.
  3. Metode penentuan nilai wajar yang digunakan untuk penerimaan zakat berupa aset nonkas.
  4. Rincian jumlah penyaluran dana zakat yang mencakup jumlah beban pengelolaan dan jumlah dana yang diterima langsung mustahiq; dan
  5. Hubugan istimewa antara amil dan mustahiq yang meliputi:
  6. Sifat hubungan istimewa
  7. Jumlah dan jenis aset yang disalurkan
  8. Presentase dari aset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama periode
Infak / Sedekah
Amil harus mengungkapkan hal-hal berikut terkait dengan transaksi infak/sedekah, tetapi terbatas pada:
a)      Metode penentuan nilai wajar yang digunakan untuk penerimaan unfak/sedekah berupa aset nonkas;
b)      Kebijakan pembagian antara dana amil dan dana nonamil atas penerimaan infak/sedekah, seperti presentase pembagian, alasan, konsistensi kebijakan;
c)      Kebijakan penyaluran infak/sedekah, seperti penentuan skala prioritas penyaluran, dan penerima;
d)     Keberadaan dana infak/sedekah yang tidak langsung disalurkan tetapi dikelola terlebih dahulu, jika ada, maka harus diungkapkan jumlah dan presentase dari seluruh penerimaan infak/sedekah selama periode pelaporan serta alasannya;
e)      Hasil yang diperoleh dari  pengelolaan yang dimaksud di huruf (d) diungkapkan secara terpisah;
f)       Penggunaan dana infak /sedekah menjadi asset kelolaan yang diperuntukkan bagi yang berhak, jika ada, jumlah dan presentase terhadap seluruh penggunaan dana infak/sedekah selama periode pelaporan serta alasannya;
g)      Rincian jumlah penyaluran dana infak/sedekah yang mencakup jumlah beban pengelolaan dan jumlah dana yang diterima langsung oleh penerima infak/sedekah;
h)      Rincian dana infak/sedekah berdasarkan pembentukannya, terikat dan tidak terikat; dan hubungan istimewa antara amil dengan penerima infak/sedekah yang meliputi:
(i)      Sifat hubungan istimewa;
(ii)    Jumlah dan jenis aset yang disalurkan; dan
(iii)  Presentase dari aset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama periode.
Selama membuat pengungkapan tersebut diatas, amil mengungkapkan hal-hal berikut:
a)     Keberadaan dana nonhalal, jika ada, diungkapkan mengenai kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan dan jumlahnya; dan
b)    Kinerja amil atas penerimaan dan penyaluran dana zakat dan dana infak/sedekah.
h. Komponen Laporan Keuangan
komponen laporan keuangan yang  lengkap dari amil terdiri dari:
1)     Neraca (laporan posisi keuangan);
2)     Laporan perubahan dana;an
3)     Laporan perubahan aset kelolaan;
4)     Laporan arus kas; dan
5)     Catatan atas laporan keuangan.
i.  Evaluasi terhadap ED PSAK 109
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan evaluasi dalam ED PSAK  Zakat dan Infak/Sedekah adalah sebagai berikut:
1)      ED PSAK Zakat DAN infak/Sedekah telah sejalan dengan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat, Infaq, dan shodaqoh(OPZIS) saja sehingga pengaturannya lebih focus dan jelas.
2)      Bagian dana Amil belum diatur secara lengkap penghimpunan dan penyalurannya. ED PSAK ini hanya menjelaskan secara garis besar sumber dana amil yaitu dari bagian dana zakat dan infak/sedekah yang diambil sesuai dengan ketentuan syariah dan kewajiban amil. Bagian perlu direvisi dengan menambahkan peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang melekat pada setiap LKS sebagai salah satu karakternya. Pertimnbangan DPS dalam penetapan bagian amil yang diambilkan dari dana zakat I  infaq/sedekah meerupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan sebagai salah satu cara memastikan bahwa amil tidak secara sepihak menentukan bagian yang diambilkan dana zakat dan infaq/sedekah.
3)      ED PSAK ini belum mengkomodasi kemungkinan dana-dana lain yang dikelola oleh OPZIS seperti yang selama ini dilakukan oleh beberapa LAZ Tingkat Nasional seperti DD Republika, PKPU, Rumah Zakat Indonesia, dan Yayasan Dompet Sosial Al Fala (YDSF) yaitu semacam dana kemanusiaan, dana pendidikan, maupun jenis dana lain yang memang diprogramkan oleh masing-masing lembaga. Walaupun secara syariah dana-dana tersebut bisa dikategorikan sebagai dana Zakat atau Infaq, namun perlu dipertimbangkan adanya akomodasi praktik tersebut sehingga pengakuan dan pengukuran akuntansinya lebih jelas.
4)      ED SPAK ini belum mengakomodasi kemungkinan kemungkinan adanya transfer antar dana misalnya sebagiandana zakat ditransfer ke dana infaq/sedekah karena kondisi tertentu yang dikategorikan darurat atau hanya untuk sementarawaktu yang kemudian akan segera dikembalikan. Sebaiknya ED PSAK ini secara tegas mengatur tentang diperbolehkannya atau tidak proses transfer antar dana tersebut sehingga jelas atatus praktik yang selama ini masih dijalankan oleh beberapa OPZ dalam kondisi darurat.
5)      Komponen laporan keuangan sebaiknya dilakukan pemisahan untuk masing-masing jenis dana misalnya neraca dana zakat, neraca dana infak/sedekah, laporan perubahan dana infaq/sedekah, laporan perubahan dana infaq/sedekah, dan seterusnya walaupun pada akhirnya dilakukan penggabungan laporan keuangan.
j. Ilustrasi penerapan ED PSAK 109
ilustrasi berikut ini akan menggunakan asumsi penerapan ED PSAK 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah dikeluarkan dan substansinya berbeda dengan EDnya, maka ilusrasi berikut perlu dipahami sesuai dengan PSAK yang berlaku.
Sebagai ilustrasi adalah Takmir Masjid Al Ikhlas berencana membuat Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang akan diberi nama LAZ amanah Ummar. LAZ ini efektif beropersi tanggal 1 Juni 2008. Beberapa informasi yang diperoleh dan kegiatan LAZ Amanah Ummat adalah:
  • Lembaga tersebut pengambil kebijakan bahwa dana pengolalaan diambil dari:
    • 12,5% dari penerimaan dana Zakat
    • 10% dari penerimaan dana Infak/Sedekah
    • Transfer ke dana pengelola dilakukan setiap akhir bulan.
    • Lembaga juga mempunyai kebijakan untuk membedakan rekening Bank untuk setiap jenis dana yang dimiliki. Bagi hasil bank Syariah dianggap sebagai pendapatan dana yang bersangkutan, bunga bank diakui sebagian penerimaan dana nonhalal.
    • Bagian akuntansi menyusutkan Aktiva Tetap dengan metode garis lurus, dengan ketentuan sebagai berikut:
      • Computer 20% per tahun
      • Kendaraan 25% per tahun

No comments:

Post a Comment