March 2018 - AKUNTAN INDEPENDEN

Monday 26 March 2018

Perlakuan Wajib Pajak Terhadap PP 46 Tahun 2013 (Wajib Pajak yang memiliki Usaha dengan Peredaran Usaha Tertentu)

March 26, 2018 0
Perlakuan Wajib Pajak Terhadap PP 46 Tahun 2013 (Wajib Pajak yang memiliki Usaha dengan Peredaran Usaha Tertentu)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013, mengatur perlakuan pajak atas Wajib Pajak yang memiliki Peredaran usaha tertentu, yakni untuk Wajib Pajak yang memiliki omset atau peredaran usaha dibawah 4,8 Milyar


* Terhadap PPh Wajib Pajak terkait PP 46 Tahun 2013 (Peredaran Usaha Tertentu) TIDAK WAJIB Lapor SPT Masa Jika:
  1. Wajib Pajak pada bulan tersebut tidak mempunyai omset/NIHIL (SE-42/PJ/2013 huruf F angka 5) saat ini sudah diberlakukan
  2. WP dengan omzet tertentu yang telah menyetor PPh Pasal 4 (2) dan telah divalidasi oleh Kas Negara tidak perlu melaporkan SPT Masa (PMK 107/PMK.011/2013 pasal 10 ayat 3 dan SE-42/PJ/2013 huruf E angka 12) saat ini sudah diberlakukan
Mengapa demikian? Pada 2 poin diatas jelas terjawab mengapa KPP membolehkan WP untuk tidak menyampaikan SPT Masa, karena SSP PPh Final 1% (atas kekurangan 0,25%) pastinya sudah divalidasi dan otomatis sudah dianggap lapor juga, sedangkan bukti Pbk nantinya akan diinput oleh petugas KPP dan menambah dari SSP Final 1% sehingga jumlahnya pas 


*Jika Perusahaan kemudian memiliki Omset yang dikenakan PP 46 Tahun 2013, maka WAJIB lapor SPT Masa (2) jika:
  1. Wajib Pajak yang menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat final tetapi SSP-nya TIDAK MENDAPAT VALIDASI dengan NTPN, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai tempat kegiatan usaha Wajib Pajak terdaftar (SE-42/PJ/2013 huruf F angka 4) saat ini sudah diberlakukan
  2. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud (menyetor sebelum tanggal 15 dan mendapat validasi berupa nomor NTPN), wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. TETAPI ketentuan ini berlaku mulai Masa Pajak Januari 2014 (SE-42/PJ/2013 huruf E angka 10,11) saat ini belum diberlakukan tunggu tahun depan


> Jika dilihat ketentuan TIDAK WAJIB lapor diatas, akan sangat memungkinkan WP tidak lapor SPT Masa dengan alasan:
tidak ada omset sehingga tidak ada pajak yang disetor, sehingga tidak lapor SPT Masa (apa iya? bisa jadi tidak melakukan setor pajak karena masih belum mengetahui tentang PP 46 Tahun 2013 ini)

> Bagaimana caranya KPP mengetahui WP tersebut omsetnya sedang kosong atau tidak? Salah satunya dengan melihat pelaporan omset di SPT Masa

> Jika tidak lapor SPT masa bagaimana KPP tahu? AR akan menelepon, mengunjungi lokasi kerja, acara lain atau mengirim surat untuk mengonfirmasi apakah WP tersebut tidak setor 1% karena memang sedang tidak ada usaha atau lupa atau tidak tahu.

> Oleh karena itu, sebaiknya laporkan saja SPT masa-nya sekalipun nihil ataupun ada setoran dengan NTPN. Gak masalah seharusnya bisa diterima oleh petugas pelayanan KPP karena dengan WP melaporkan maka akan mempermudah pengawasan WP.  Tetapi kembali ke kasus di atas, ada juga KPP yang tidak mengharuskan WP lapor SPT Masa,  dapat kita turuti saja karena jawaban dari KPP diatas tidak bertentangan dengan aturan.

 

Thursday 15 March 2018

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besaran Penghasilan Kena Pajak (PKP)

March 15, 2018 0
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besaran Penghasilan Kena Pajak (PKP)




Indonesia menganut sistem pajak self-assessment, dimana warga negaranya sebagai wajib pajak (WP) diberi kebebasan untuk menghitung, menyetor dan melaporkanya atau melaporkan pajaknya sendiri ke kantor pajak atau sekarang melalui sistem pajak.  

Terkait penghitungan dan pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) khususnya PPh 21, ada baiknya terlebih kita ketahui apa-apa saja penghasilan yang menjadi penambah ataupun pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebagai dasar Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 21 sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (3) PER 32/PJ/2015 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan 21 dan/atau Pajak Penghasilan 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

* Pasal 21 ayat (3) UU PPh

Secara singkat disebutkan besaran PPh 21, Dalam Pasal 21 ayat (3) UU PPh :

 Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.”



A.  Faktor Penambah Penghasilan Kena Pajak
 
Untuk Faktor Penambah Penghasilan Kena Pajak (komponen Penghasilan Bruto), tidak begitu susah diperhitungkan karena hampir seluruh komponen penghasilan bruto masuk sebagai penambah PKP.  Namun ada beberapa biaya yang perlu disesuaikan yang banyak menjadi pertanyaan para wajib pajak, yakni premi asuransi.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak Yang bersangkutan. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

Berdasar ketentuan tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan Pemberi Kerja pada formulir 1770-I halaman 1 Bagian A Nomor 3 huruf a adalah Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai pemberi kerja yang membayar atau menanggung premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa untuk pegawainya.
2. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai pemberi kerja yang melakukan pembayaran premi asuransi untuk pegawainya tersebut sebagaimana dimaksud pada huruf a, boleh membebankannya sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena pajak dan bagi pegawai yang bersangkutan premi asuransi dimaksud merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
3. Dalam hal pembayaran premi asuransi tersebut pada huruf a belum dibebankan sebagai biaya oleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai pemberi kerja, maka dapat dilakukan penyesuaian fiskal negatif oleh Wajib Pajak Orang Pribadi pemberi kerja tersebut.

 
B.  Faktor Pengurang Penghasilan Kena Pajak


1. Biaya Jabatan 

Biaya jabatan adalah istilah perpajakan dalam hal ini tentang PPh 21 pribadi. Biaya jabatan merupakan persentasi asumsi pihak perpajakan bahwa sebagai seorang pekerja / karyawan pasti memiliki pengeluaran (biaya) selama setahun pasti dalam hubungannya dengan pekerjaannya dan karena itu, pihak perpajakan menetapkan biaya jabatan dikenakan tarif tetap 5% dikali penghasilan bruto setahun. Dan setinggi-tingginya 6 juta (setahun) atau 500 ribu (sebulan) sesuai peraturan terbaru).
Atau dalam pengertian lain, biaya jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih , dan memelihara penghasilan yang besarnya 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya 6 juta setahun. Dalam Undang –undang PPh pasal 21 untuk pegawai tetap sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (3) undang –undang pajak penghasilan. Jadi setiap pegawai tetap berhak untuk mendapatkan pengurangan ini. Istilah jabatan tidak merujuk pada pengertian jabatan formal tertentu dalam perusahaan atau instansi. Dari staf biasa sampai direktur utama berhak mendapatkan pengurang biaya jabatan ini. Besarnya biaya jabatan dapat dibaca di PMK 250/PMK.03/2008
  1. Jika pada awal tahun sudah berstatus pegawai tetap, maka biaya jabatan dihitung dari bulan Januari sd. Akhir tahun saat yang bersangkutan berhenti bekerja
  2. Jika seorang baru diangkat sebagai pegawai tetap dalam tahun Takwim, maka biaya jabatan dihitung sejak bulan pengangkatan sampai akhir tahun atau status berhenti bekerja.
  3. Jika seorang berhenti bekerja dalam tahun takwim, maka biaya jabatan dihitung dari bulan Januari s.d. bulan saat yang bersangkutan berhenti bekerja.
 
2. Iuran Pensiun  

Dalam pasal 10 ayat (3) huruf d PER 32/PJ/2015 ditegaskan bahwa iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua

3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

PTKP adalah besarnya penghasilan yang jadi batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas jumlahnya dibawah PTKP, ia tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan PPh Pasal 25/29. Bila statusnya adalah sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek dari Pasal 21, maka penghasilan tersebut tidak akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21. 

Tarif PTKP terbaru untuk perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan PMK No. 101/PMK.010/2016 adalah :
  • Rp 54.000.000, untuk diri Wajib Pajak orang pribadi
  • Rp 4.500.000, tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
  • Rp 54.000.000, untuk istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.
  • Rp 4.500.000, tambahan bagi setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda garis keturunan lurus dan anak angkat yang jadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
Maksud dari keluarga sedarah adalah masih garis keturunan lurus satu derajat seperti ayah, ibu dan anak. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat yaitu mertua dan anak tiri, dan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping adalah ipar.
Keluarga sedarah dan juga semenda garis keturunan lurus, yang jadi tanggungan adalah
orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat berhak dapat PTKP maksimal 3 orang untuk tiap keluarga. Dan yang dimaksud dengan menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

 

Penerapan PTKP Baru PMK Nomor 101/PMK.010/2016

Penerapan PTKP Tahun 2016 per tahun adalah sebagai berikut:

1) PTKP Untuk Laki-Laki Kawin Istri Tidak Bekerja/Tidak Memiliki Usaha
  • K/0 = Rp. 58.500.000,-
  • K/1 = Rp. 63.000.000,-
  • K/2 = Rp. 67.500.000,-
  • K/3 = Rp. 72.000.000,-
Penjelasan (istri yang tidak bekerja):
  • K/0 : Kawin tidak ada tanggungan Rp. 58.500.000 (Rp. 54.000.000 + Rp. 4.500.000)
  • K/1: Kawin memiliki 1 (satu) tanggungan Rp. 63.000.000 (Rp. 54.000.000 + Rp. 4.500.000 + Rp. 4.500.000)
  • K/2: Kawin memiliki 2 (dua) tanggungan Rp. 67.500.000 (Rp. 54.000.000 + Rp. 4.500.000 + Rp. 4.500.000 + Rp. 4.500.000)
  • K/3: Kawin memiliki 3 (tiga) tanggungan Rp. 72.000.000 (Rp. 54.000.000 + Rp. 4.500.000 + Rp. 4.500.000 + Rp. 4.500.000 + Rp. 4.500.000)
2) PTKP Untuk Laki-laki Tidak Kawin dan Wanita (Kawin/Tidak Kawin)
  • TK/0 = Rp. 54.000.000,-
  • TK/1 = Rp. 58.500.000,-
  • TK/2 = Rp. 63.000.000,-
  • TK/3 = Rp. 67.500.000,-
Penjelasan:
  • Status Wanita meskipun sudah kawin tetap mempunyai PTKP tidak kawin kecuali dapat membuktikan bahwa suami tidak bekerja (dari Instansi terkait/kelurahan).
  • TK/0: Tidak Kawin tidak ada tanggungan PTKP sebesar Rp. 54.000.000
  • TK/1: Tidak Kawin memiliki 1 (satu) tanggungan PTKP sebesar Rp. 58.500.000 (Rp. 54.000.000 + Rp. 4.500.000).
  • TK/2: Tidak Kawin memiliki 2 (dua) tanggungan PTKP sebesar Rp. 63.000.000 (Rp. 54.000.000 + Rp. 4.500.000 +Rp. 4.500.000).
  • TK/3: Tidak Kawin memiliki 3 (tiga) tanggungan PTKP sebesar Rp. 67.500.000 (Rp. 54.000.000 + Rp. 4.500.000 + Rp. 4.500.000 + Rp. 4.500.000).
3) PTKP untuk Laki-Laki Kawin Istri Bekerja/Usaha
  • K/I/0 = Rp. 112.500.000,-
  • K/I /1 = Rp. 117.000.000,-
  • K/I /2 = Rp. 121.500.000,-
  • K/I /3 = Rp. 126.000.000,-
Penjelasan (Istri Bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja atau usaha):
  • PTKP untuk istri yang bekerja pada satu pemberi kerja tidak digabung dengan suami, yang digabung dengan PTKP suami hanya yang bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja dan/atau istri yang memiliki usaha (penghasilan digabung dengan penghasilan suami)
  • K/I/0 = Kawin Istri Bekerja/Usaha tidak ada tanggungan 112.500.000 (54.000.000 + 54.000.000+ 4.500.000)
  • K/I/1 = Kawin Istri Bekerja/Usaha memiliki 1 (satu) tanggungan 117.000.000 (54.000.000 + 54.000.000+4.500.000 +4.500.000)
  • K/I/2 = Kawin Istri Bekerja/Usaha memiliki 2 (dua) tanggungan 121.500.000 (54.000.000 + 54.000.000+ 4.500.000 + 4.500.000+ 4.500.000)
  • K/I/3 = Kawin Istri Bekerja/Usaha memiliki 3 (tiga) tanggungan 126.000.000 (54.000.000 + 54.000.000+ 4.500.000 + 4.500.000 + 4.500.000 + 4.500.000)




Tuesday 13 March 2018

Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan (PPh)

March 13, 2018 0
Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan (PPh)


Dengan berlakunya PP Nomor 46 tahun 2013 pada tanggal 1 Juli 2013 yang dipotong pajak 1% per bulan dari peredaran bruto, mengakibatkan tidak adanya pengkreditan pajak penghasilan di SPT Tahunan baik PPh Badan maupun Orang Pribadi. Namun, ketika Wajib Pajak Objek Pajak (WPOP) atau Wajib Pajak (WP) Badan melakukan kegiatan yang termasuk Objek Pemotongan PPh 21, 22, atau 23 WP dapat dikenakan pemotongan pajak penghasilan. Dalam kondisi ini, WP dengan penghasilan bruto tertentu akan dirugikan karena yang seharusnya hanya dikenakan pajak 1% malah bertambah dikenakan 2% atau bertambah sesuai tarif pajak tidak bersifat final lainnya, karena pajak yang boleh di kreditkan menjadi tidak boleh dikreditkan. 
Namun, jangan khawatir karena berdasarkan PER-32/PJ/2013 bahwa WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai PPh yang bersifat final dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).



A.  Pengertian SKB

SKB adalah Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh bagi WP yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu, sama halnya dengan surat keterangan yang menyatakan bahwa WP dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain yang dapat dikreditkan.



B. Syarat Permohonan SKB 

WP yang berpenghasilan bersifat final dapat mengajukan permohonan pembebasan dari potongan atau pungutan PPh yang diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat WP terdaftar dengan syarat sebagai berikut:
  1. Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk WP yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya SKB.  Artinya, WP pajak perlu menyelesaikan satu tahun masa pajak nya terlebih dahulu yang telah disampaikan SPT Tahunan PPh nya, baru kemudian bisa mengajukan SKB
  2. Menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani WP atau kuasa WP yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai PPh bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya SKB, untuk WP yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya SKB.
  3. Menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
  4. Ditandatangani oleh WP, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan WP harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.
Surat Permohonan diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23.



C. Prosedur Penggunan SKB
 
Pada saat WP akan bertransaksi dengan pihak lain yang berkewajiban memotong PPh bersifat tidak final maka WP berhak mengajukan legalisasi SKB yang sudah diperoleh dari kantor pajak. Permohonan legalisasi fotokopi SKB diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat WP menyampaikan kewajiban SPT dengan syarat:
  1. Menunjukkan SKB
  2. Menyerahkan bukti penyetoran PPh yang bersifat final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa SSP lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 atas:
    1. impor
    2. pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas
    3. pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif dan industri farmasi
    4. pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri
  3. Mengisi identitas WP pemotong dan/atau pemungut PPh dan nilai transaksi pada kolom yang tercantum dalam SKB.
  4. Ditandatangani oleh WP, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan WP harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.

Fotokopi SKB diajukan dalam rangkap 3, yaitu:
a.    satu lembar untuk KPP tempat WP menyampaikan kewajiban SPT
b.    satu lembar untuk diserahkan WP kepada WP pemotong dan/atau pemungut
c.    satu lembar untuk diserahkan kepada KPP tempat pemotong dan/atau pemungut terdaftar









 

Thursday 8 March 2018

Pajak Penghasilan (PPh) Badan

March 08, 2018 0
Pajak Penghasilan (PPh) Badan





I. PENDAHULUAN

Kewajiban untuk menghitung sendiri, menyetor dan melaporkan PPh terutang merupakan implementasi dari sistem self assessment yang dianut di  Indonesia. Tidak terkecuali untuk Wajib Pajak Badan. Pajak penghasilan badan dikenakan atas penghasilan kena pajak setelah dilakukan koreksi fiskal. PPh Terutang dihitung dengan mengalikan tarif pajak penghasilan dengan jumlah penghasilan kena pajak.

Untuk mendorong berkembangnya usaha kecil dan menengah, struktur tarif khususnya terkait PPh Badan dirubah menjadi lebih sederhana. Dengan mengedepankan prinsip keadilan dan peningkatan daya saing, pemerintah memberikan fasilitas berupa pengurangan tarif.

II.    KETENTUAN TARIF DAN FASILITAS PPH BADAN

a. Pasal 17 ayat 1 huruf b
Pada dasarnya tarif PPh Badan menganut tarif tunggal  yaitu sebesar 28%. Tarif ini berlaku pada tahun 2009 kemudian diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010. Tarif PPh Badan sebesar 25% efektif berlaku untuk tahun 2010 dan seterusnya. Tarif ini diterapkan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap.

Contoh penghitungan:
Jumlah Peredaran Bruto Tahun 2015 Rp 54.000.000.000,-
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tahun 2015 Rp 4.000.000.000,-
PPh Badan Terutang = 25% x Rp 4.000.000.000,- = Rp Rp 1.000.000.000,-
 
b. Pasal 17 ayat 2b
Tarif ini diterapkan pada wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka  yang memperoleh pengurangan tarif sebesar 5% lebih rendah dari tarif normal. Untuk mendapatkan fasilitas pengurangan tarif ini Wajib Pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
  2. Saham sebagaimana dimaksud point a harus dimiliki oleh paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) Pihak.
  3. Masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam point b hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. 
Contoh penghitungan:
Pada tahun 2015 saham PT. Y Tbk. yang disetor dicatat untuk diperdagangkan dibursa efek di Indonesia sebesar 60%. Saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan dibursa efek di Indonesia tersebut dimiliki oleh 400 pihak. Diantara 400 pihak, Masing-masing pihak persentase kepemilikannya tidak melebihi 5%, Kondisi tersebut terjadi selama 190 (seratus delapan puluh dua) hari dalam 1 (satu) tahun pajak.

PT. Y Tbk memenuhi syarat, sehingga PT. Y Tbk memperoleh fasilitas penurunan tarif.
Jumlah PKP dalam tahun pajak 2015 Rp 1, 25 Miliar
PPh yang terutang = (25% - 5%) x Rp1,25 Miliar = Rp 250 Juta

 c  Tarif PPh Wajib Pajak Tertentu
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Ketentuan-ketentuan Pasal 31 E UU No. 36 tahun 2008 sebagai berikut :  
a. Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang- Undang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, sehingga Wajib Pajak badan dalam negeri tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.
b.Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga tidak mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
c. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
d. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan semua penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:
1)penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
2)penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
3)penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
e.Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut bukan merupakan pilihan, sehingga bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang memiliki akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri tersebut wajib mengikuti ketentuan pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
f.Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan ini berlaku untuk penghitungan Pajak Penghasilan Terutang atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final.
g.Untuk menghitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan, Wajib Pajak badan dalam negeri yang telah memenuhi persyaratan fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan wajib menggunakan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.


Ketentuan Perhitungan Pasal 31E:
a. Peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-
PPh terutang = 50% x 25% x Seluruh PKP
   
b.Peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000.000,- PPh terutang  :
traif1

PKP dari bagian bruto yang memperoleh fasilitas:

Rp 4,8 Miliar        
  x PKP
Peredaran Bruto

PKP dari bagian bruto yang tidak memperoleh fasilitas :
Keseluruhan PKP – PKP yang memperoleh fasilitas





















Thursday 1 March 2018

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

March 01, 2018 0
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)
https://jurnal2ekonomi.blogspot.co.id/2018/03/ikatan-konsultan-pajak-indonesia-ikpi.html 



Pada tanggal 27 Agustus 1965 pembentukan organisasi konsultan pajak, (yang saat ini dikenal dengan IKPI), diawali melalui para insisiator J. Sopaheluwakan, Drs. A. Rahmat Abdisa, Bapak, Erwin Halim, dan A.J.L. Loing. Pada tanggal tersebut, Drs. Hidayat Saleh, yang saat itu menjabat Direktur Pembinaan Wilayah, ditunjuk selaku ketua Kehormatan.
Pada masa kepemimpinan Direktorat Jenderal Pajak dipangku oleh Bapak Drs. Sutadi Sukarya, yaitu sekitar tahun 70-an, para konsultan pajak mulai aktif.
Kongres pertama dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 1975 menyepakati dibentuknya Ikatan Konsulen Pajak Indonesia.  Selanjutnya melalui Kongres Ikatan Konsulen Pajak Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 21 Nopember 1987 di Bandung, nama organisasi diubah menjadi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia dan disingkat dengan IKPI.
Dari waktu ke waktu jumlah konsultan pajak berizin telah semakin banyak seiring dengan kepercayaan masyarakat terhadap IKPI.  Ketua IKPI yang diangkat oleh Kongres IKPI dari masa ke masa adalah:
Kongres ke 1 (masa 1975-1978) : Drs. A.R. Abdisa
Kongres ke 2 (masa 1978-1982) : Drs. A.R. Abdisa
Kongres ke 3 (masa 1982-1986) : Drs. A.R. Abdisa
Kongres ke 4 (masa 1986-1990) : Drs. Aries Gunawan
Kongres ke 5 (masa 1990-1994) : Drs. Aries Gunawan
Kongres ke 6 (masa 1994-2000) : Drs. Ferdy Pattiasina
Kongres ke 7 (masa 2000-2004) : Drs. Tjoetjoe Alihartono, MBA
Kongres ke 8 (masa 2005-2007)
                      (masa 2008-2009)
:
:
Drs. Tjoetjoe Alihartono, MBA
Drs. A. Idris Pulungan, Ak
Kongres Ke 9 (masa 2009-2014) : Sukiatto Oyong SE, Ak, M.Si
Kongres ke 10 (masa 2014-2019) : Drs. Mochamad Soebakir

 

Bentuk Organisasi   

IKPI merupakan organisasi profesi Konsultan Pajak di Indonesia yang mandiri, bersifat kemasyarakatan, dan independen.

 

Visi   

Menjadikan IKPI organisasi Konsultan Pajak kelas dunia.

 

Misi   

Memelihara perdamaian dengan memperbaiki hubungan internal dan eksternal serta menjalin kerjasama (mitra) dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kamar Dagang dan Industri (KADIN) serta dunia internasional.

 

Anggota   

Anggota IKPI adalah Konsultan Pajak yang dengan keahliannya dan dalam lingkungan pekerjaannya, secara bebas dan profesional memberikan jasa perpajakan kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban  perpajakan  sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Anggota IKPI terdiri dari:
a. Anggota Biasa; yaitu setiap Konsultan Pajak yang telah memiliki Izin
Praktek Konsultan Pajak dari Menteri Keuangan cq Direktur Jenderal
Pajak.
b. Anggota Luar Biasa; yaitu setiap orang yang melakukan pekerjaan
dibidang perpajakan dan memiliki sertifikat dari Badan Penyelenggara
Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (BPUSKP) atau Piagam Penghargaan
Setara Brevet  yang diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak, tetapi
tidak/belum memiliki Izin Praktek Konsultan Pajak; dan,
c. Anggota Kehormatan; yaitu setiap orang yang diangkat oleh Pengurus
Pusat karena memiliki kemampuan untuk ikut memelihara dan memajukan
organisasi IKPI.

Jumlah Anggota    

Pada akhir tahun 2009, anggota IKPI berjumlah 1300 orang yang berdomisili di berbagai kota di Indonesia.
.

 

Tujuan  

1. Meningkatkan peranan IKPI melalui anggotanya dalam membantu setiap program pemerintah berkaitan dengan bidang perpajakan.
2. Meningkatkan mutu pengetahuan anggota IKPI.
3. Memperjuangkan dan melindungi kepentingan anggotanya dalam menjalankan profesinya.

 

Kegiatan 

 
1. Menyelenggarakan seminar, ceramah, lokakarya, diskusi, PPL (Pengembangan
Profesional Berkelanjutan), atau kegiatan sejenis untuk meningkatkan pengetahuan
anggota dan masyarakat Wajib Pajak;
2. Menyelenggarakan perpustakaan, dokumentasi dan penerbitan;
3. Menyediakan informasi perpajakan bagi anggota;
4. Membuat pedoman tentang sikap dan tata cara anggotanya dalam
melaksanakan profesinya dan melakukan penyesuaian sesuai perkembangan
lingkungan;
5. Memperjuangkan peningkatan ruang lingkup profesi Konsultan Pajak;
6 Melakukan penelitian dan pengkajian di bidang perpajakan;
7. Melaksanakan pengawasan dan penetapan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dan Kode Etik IKPI;
8. Memelihara dan memupuk hubungan serta kerjasama yang lebih baik dengan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat luas;
9. Berperan serta dalam forum internasional di bidang perpajakan, antara
lain dalam bentuk seminar, konferensi, pertukaran informasi, dan lain
sebagainya;
10. Melakukan kegiatan dan usaha lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).

Kode Etik IKPI

1. Merupakan kaidah moral yang menjadi pedoman dalam berfikir, bersikap dan bertindak bagi setiap anggota IKPI dan mengatur sanksi terhadap pelanggaran Kode Etik IKPI;
2. Setiap anggota IKPI wajib menjaga citra dan martabat profesi dengan senantiasa berpegang pada Kode Etik IKPI.

Kepribadian seorang Konsultan Pajak 

1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Negara Kesatuan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
2. Taat pada hukum dan peraturan perpajakan, serta menjujung tinggi integritas martabat dan kehormatan profesi konsultan pajak;
3. Melakukan tugas profesi dengan penuh tanggung jawab, dedikasi tinggi dan independen;
4. Menjadi Wajib Pajak yang baik;
5. Menjaga kerahasiaan dalam menjalankan profesi.